Implementasi UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan (Opini)

By Ahmad Rajendra


Nusakini.com--Jakarta--Belum lama beredar sebuah video tentang perlakuan kurang terpuji aparat terhadap seseorang yang diduga adalah anggota tim medis dari sebuah organisasi kemanusiaan/kesehatan. Dalam video yang beredar tersebut, terdengar seseorang yang diduga anggata tim medis tersebut berkata "saya nih palang merah loh ya..saya bisa tuntut anda loh ya".

Pengakuan orang dalam video tersebut akhirnya sontak menjadi sorotan publik. Respon pun datang dari Markas Besar Palang Merah Indonesia Pusat (selanjutnya disebut PMI) melalui akun twitternya yang memberikan klarifikasi bahwa seseorang dalam video tersebut bukanlah anggota tim medis Palang Merah Indonesia (https://mobile.twitter.com/palangmerah/status/1132851893611319296).

Salah satu yang menjadi dasar dari klarifikasi itu adalah bahwa atribut yang tampak dikenakan oleh orang dalam video tersebut jelas bukanlah uniform (seragam) resmi yang biasa dikenakan oleh tim medis PMI. Meskipun orang dalam video tersebut hanya menyebutkan "palang merah", dan bukan "Palang Merah Indonesia", namun menunjuk kepada pasal 2 UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan yang menyebutkan bahwa penyelenggara kepalangmerahan adalah negara dan Palang Merah Indonesia, maka menurut saya respon yang dilakukan oleh Markas Besar PMI telah tepat.

Tak berselang lama, beredar pula sebuah foto sekelompok orang, dimana dalam foto tersebut tampak ada 2 orang yang mengenakan kaos dengan lambang Palang Merah Indonesia. Lambang tersebut terlihat identik dengan lambang milik PMI, karena memiliki ciri khas yaitu palang merah dengan warna dasar putih ditengah 5 lengkungan setengah lingkaran yang menyatu, yang diambil dari bentuk kelopak bunga melati (pasal 23 ayat (1) UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan).

Menunjuk kepada pasal 7 UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan, disebutkan bahwa penggunaan lambang palang merah berfungsi sebagai tanda pelindung dan tanda pengenal. Kemudian pada pasal 10 s/d 14 dalam UU yang sama disebutkan bahwa yang berhak menggunakan lambang palang merah, baik sebagai tanda pelindung maupun tanda pengenal adalah Satuan Kesehatan Tentara Nasional Indonesia dan Palang Merah Indonesia, baik dalam masa konflik bersenjata maupun dalam masa damai.

Lalu bagaimana dengan organisasi yang menggunakan lambang palang merah diluar TNI dan PMI ? Pasca disahkannya UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan, tidak boleh lagi ada organisasi diluar TNI dan PMI yang menggunakan lambang palang merah tanpa izin dari Panglima TNI (pasal 13 ayat 1) di masa konflik, dan/atau Pengurus Pusat PMI (pasal 15) di masa damai.

Dalam hal penggunaan lambang palang merah sebagai tanda pengenal oleh PMI pada saat terjadi kerusuhan atau gangguan keamanan, diatur dalam pasal 19 UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan. Lebih lanjut tentang penggunaan lambang palang merah sebagai tanda pengenal dalam kondisi yang sama juga diatur dalam pasal 40 s/d 42 PP No.7 Tahun 2019, dimana dalam pasal 40 disebutkan bahwa yang berhak menggunakannya adalah Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Kepolisian Republik Indonesia, Unit Kesehatan TNI, Kementrian/Lembaga, dan PMI. Adapun tanda pengenal yang dimaksud dalam pasal 40 tersebut dikeluarkan oleh PMI (pasal 41).

Sementara penggunaan lambang palang merah oleh unit kesehatan non-PMI dalam fungsinya untuk pertolongan pertama secara temporer dalam masa damai, termasuk ketika terjadi kerusuhan atau gangguan keamanan (non perang/konflik bersenjata), harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari Pengurus Pusat PMI sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :

1. Penggunaan lambang palang merah sebagai tanda pengenal dan pelindung hanya diperuntukkan bagi institusi TNI (unit kesehatan) dan PMI.

2. Penggunaan lambang palang merah oleh non-PMI sebagai tanda pengenal pada masa damai, termasuk dalam kerusuhan atau gangguan keamanan non perang, harus memiliki izin tertulis dari Pengurus Pusat PMI.

Kemudian setelah mengamati kedua insiden di atas, termasuk respon dari Markas Besar PMI Pusat, maka patut diduga telah terjadi adanya pelanggaran terhadap :

1. Penggunaan lambang palang merah sebagai tanda pengenal dan tanda pelindung pada insiden yang terekam dalam video.

2. Penggunaan lambang Palang Merah Indonesia sebagai tanda pengenal dan tanda pelindung pada kaos.

Untuk dipahami, lambang palang merah dan lambang Palang Merah Indonesia memiliki definisi yang berbeda.

Pasal 36 ayat (1) UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan berbunyi : Setiap orang dilarang menggunakan nama dan lambang kepalangmerahan sebagai tanda pengenal atau tanda pelindung selain sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini. Kemudian pasal 37 berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan nama dan lambang kepalangmerahan sebagai tanda pengenal atau tanda pelindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Timbul pertanyaan, apakah PMI cukup memberikan klarifikasi saja dalam menyikapi kedua kejadian tersebut di atas ? Menurut hemat saya, sebagai organisasi yang melaksanakan isi dari UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan, maka PMI harusnya dapat bertindak lebih dari itu. Dalam hal ini mengambil langkah-langkah hukum sebagai tindak lanjutnya, entah berupa somasi, atau bahkan melakukan tuntutan hukum pidana kepada pihak-pihak yang diduga melanggar penggunaan lambang palang merah sebagaimana diatur dalam UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan dan PP No.7 Tahun 2019.

Saya pikir itu adalah langkah yang baik dan tepat, bukan saja dalam rangka menjaga nama baik (marwah) organisasi, tapi juga sebagai langkah penegakkan hukum, dan sekaligus sebagai edukasi kepada masyarakat secara luas dan menyeluruh tentang implementasi UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan.

Akhir kata, sebuah produk hukum hanya akan menjadi sebatas untaian kalimat di atas kertas tanpa adanya upaya-upaya penegakkan hukum itu sendiri. Terlebih lagi jika mengingat sejarah panjang dan penuh liku RUU Kepalangmerahan yang memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya disepakati dan disahkan menjadi UU No.1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan.

Jakarta, 1 Juni 2019

Zamril Hardyansyah

Pelaksana TU Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Provinsi DKI Jakarta.